DPR Kecewa MK Batalkan UU Perkoperasian

05-06-2014 / KOMISI VI

DPR mengaku kecewa atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian. Meski begitu, DPR menerima dan memahami pertimbangan putusan MK tersebut.

“Komisi VI DPR kecewa terhadap pembatalan secara menyeluruh UU Perkoperasian No 17 tahun 2012, karena kan yang digugat itu cuma tiga pasal tapi semuanya dibatalkan. Tapi, sebagai warga negara yang baik tentunya kami akan menerima dan berusaha untuk memahami pertimbangan MK itu,” kata Wakil Ketua Komisi VI DPR Erik Satrya Wardhana (Fraksi Hanura) kepada Parlementaria, baru-baru ini di Gedung DPR, Jakarta.

Sebelumnya, MK menyatakan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pertimbangan hakim menyatakan filosofi dalam Undang-Undang Perkoperasian ternyata tidak sesuai dengan hakikat susunan perekonomian sebagai usaha bersama dan berdasarkan asas kekeluargaan yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.

Menurut Erik, pada saat pandangan akhir fraksi pada pengambilan keputusan pengesahan UU Perkoperasian dalam rapat paripurna, Fraksi Partai Hanura, kata dia, sudah menyatakan bahwa fraksinya tidak puas terhadap proses pembahasan UU Perkoperasian yang merupakan UU inisiatif dari pemerintah.

“Draf UU yang diajukan pemerintah pada saat itu menurut kami menunjukkan ketidaksiapan dan pemahaman yang kurang dari pemerintah terhadap permasalahan yang mendasar dari koperasi secara keseluruhan,” ujarnya.

Misalnya saja, kata Erik, di dalam UU itu lebih banyak mengatur tentang koperasi simpan pinjam, padahal koperasi itu, sesuai dengan amanat dari pasal 33 ayat 1 UUD 1945, adalah perwujudan dari usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan.

Menurut dia, seharusnya UU Koperasi itu lebih menekankan kepada konsep kepemilikan dan integrasi usaha yang dalam bahasa UUD 1945 adalah merupakan usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. sehingga tekanannya mestinya selain pada konsep kepemilikan juga kepada sektor-sektor yang produktif.

“Kalau koperasi simpan pinjam itukan tidak melulu produktif, karena di dalam komponen simpan pinjam pasti ada pembiayaan yang bersifat konsumtif, padahal koperasi itu harus sebagai wadah orang untuk mengakses pada kepemilikan usaha secara bersama pada sektor-sektor yang produktif sehingga bisa menumbuhkan dan menambah niai tambah dan bisa mendorong proses produksi secara berkelanjutan dan akhirnya akan menimbulkan efek multiplayer yang besar. Point ini yang kami rasa kurang,” jelasnya.

Meski begitu, politisi dari Partai Hanura itu merasa UU Nomor 17 tahun 2012 ini sebetulnya masih bisa dipakai, Cuma memang, kata dia,  harus ada pasal-pasal yang perlu diperbaiki. “Tapi kalau memang keputusan MK sudah seperti itu, maka menjadi tugas DPR bersama-sama pemerintah untuk segera memproses kembali UU Koperasi yang baru untuk menggantikan UU Koperasi yang lama,” katanya.

Dengan adanya putusan MK tersebut, secara otomatis acuan yang diikuti seluruh gerakan koperasi Indonesia tetap mengacu pada Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian.

Di tempat yang sama, anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Golkar Lili Asdjudiredja menyatakan keanehannya pada putusan MK tersebut. Sebab, hanya beberapa pasal yang dipermasalahkan, namun secara keseluruhan UU itu malah dibatalkan.

Kalau menurut saya, MK ini mungkin tidak menguasai sepenuhnya soal koperasi, kemudian perwakilan dari seperti dari kementerian koperasi barangkali menjelaskannya kurang lengkap, sehingga kemudian juga dari kita, seharusnya juga komisi yang membidangi itu dilibatkan untuk memberikan penjelasan itu sehingga dengan demikian informasi itu akan lebih lengkap. Jangan yang datang kesana bukan orang yang tidak ikut di dalam pembahasan, jadinya susah. Akhirnya ya wajar saja MK memutuskan seperti itu,” katanya.

Terkait adanya beberapa pasal di dalam UU Perkoperasian yang dianggap mengusung semangat kapitalisme yang dinilai tidak sesuai dengan prinsip koperasi sebagaimana alasan yang digunakan penggugat UU Perkoperasian di MK, menurut Lili, prinsipnya koperasi tetap sekumpulan orang untuk mendirikan suatu wadah usaha.

Oleh karena itu, kata Lili, harus diberikan penjelasan dan yang bisa memberikan penjelasan itu menurut dia adalah pihak kementerian koperasi. “Apalagi draft UU ini kan dari pemerintah. Intinya dari Kementerian Koperasi kurang bisa memberikan penjelasan secara tuntas,” jelasnya. (nt)/foto:iwan armanias/parle.

BERITA TERKAIT
Asep Wahyuwijaya Sepakat Perampingan BUMN Demi Bangun Iklim Bisnis Produktif
09-01-2025 / KOMISI VI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir berencana akan melakukan rasionalisasi BUMN pada tahun 2025. Salah...
147 Aset Senilai Rp3,32 T Raib, Komisi VI Segera Panggil Pimpinan ID FOOD
09-01-2025 / KOMISI VI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan raibnya 147 aset BUMN ID Food senilai Rp3,32 triliun. Menanggapi laporan tersebut,...
Herman Khaeron: Kebijakan Kenaikan PPN Difokuskan untuk Barang Mewah dan Pro-Rakyat
24-12-2024 / KOMISI VI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen akan mulai berlaku per 1 Januari 2025. Keputusan ini...
Herman Khaeron: Kebijakan PPN 12 Persen Harus Sejalan dengan Perlindungan Masyarakat Rentan
24-12-2024 / KOMISI VI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron menyoroti pentingnya keberimbangan dalam implementasi kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai...